Disebut Orang Dekat Istana-Jadi Pangkostrad, Mayjen Maruli: Apa Salah?

Mayjen Maruli Simanjuntak resmi ditunjuk menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Namun sejumlah pihak menilai penunjukkan Maruli sebagai Pangkostrad karena ada kedekatan dengan pihak istana. Apa tanggapan Maruli?

"Ya apa salah kalau saya dekat? (dengan lingkaran istana). Yang ngangkat saya (sebagai Pangkostrad) kan bukan saya sendiri," kata Maruli kepada wartawan di Denpasar, Bali, Senin (24/1/2022).

Maruli berterus-terang sudah mengetahui bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) bekerja. Eks Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) itu mengaku sudah bekerja bertahun-tahun dengan Jokowi.

"Jadi saya terus terang, (secara) pribadi saya tahu persis presiden itu bagaimana bekerjanya, kebetulan saya bertahun-tahun dengan beliau. Saya rasa kalau saya harus bicara tentang jabatan ke beliau, saya enggak tega lagi kalau melihat cara kerja beliau," terangnya.

Meski demikian, Maruli mengaku tidak pernah bermaksud untuk menduduki jabatan tertentu. Ia mengaku tidak tahu bisa menduduki jabatan seperti Pangdam IX/Udayana hingga Pangkostrad.

"Dikasi Pangdam Udayana saya juga enggak tahu dulu. Mau jadi Pangkostrad pun saya enggak tahu dulu. Saya tidak pernah terucap untuk mengatakan itu. Ya kalau ada tanggapan (dekat dengan istana) itu ya silakan-silakan saja. Saya bekerja saja," ungkapnya.

Menantu Menko Luhut Binsar Panjaitan itu juga mengaku dirinya memang ada kaitan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu. Namun, Maruli mengaku tak pernah menginginkan jabatan yang tinggi.

"Mau saya tolak juga berkaitan (dengan Luhut), bagaimana coba. Kami enggak begitu lah. Kami pikir juga kenapa harus menginginkan suatu tanggung jawab terlalu tinggi. Tanggung jawabnya besar mengerjakan-mengerjakan hal seperti itu," kata dia.

Di sisi lain, Maruli mempertegas penilaian mengenai pengangkatan dirinya sebagai Pangkostrad dilakukan dengan baik. Hal itu dapat dilakukan dengan melihat rekam jejak dan sebagainya.

"Jadi ya itu. Jadi kalau orang menganggap seperti itu (dekat dengan istana), kalau saran saya, kalau mau jadi pengamat, amatilah dengan baik sebagaimana track recordnya, bagaimana ininya sehingga bicaranya enak," pintanya.

"Tapi kalau dari jauh mengamatinya 'o ya udahlah itu memang dekat (dengan istana)', jadi saran saya diamati saja track recordnya. Ini anak gimana nih, atau mungkin survei, tanya si anggotanya, dia bikin apa, dia gimana. Jadi itu namanya itu pengamat. Kalau dari jauh apanya namanya kira-kira, peninjau (mungkin namanya). Sebaiknya begitu, jadi kita bicaranya nyekolah dikit lah," tegas Maruli.

Seperti diketahui, Mayjen Maruli Simanjuntak adalah menantu Menteri Koordinator Maritim dan investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPR RI, Effendi Simbolon sempat berbicara tentang demoralisasi di tubuh TNI.

Effendi awalnya menilai penunjukkan Mayjen Maruli sebagai Pangkostrad atas pertimbangan objektif dan subjektif Jenderal Andika dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia lantas menyinggung hanya orang yang dekat Presiden Jokowi saja yang dipilih menduduki posisi strategis di TNI.

"Secara objektif dan subjektif pasti itu menjadi pertimbangan Panglima dan KSAD dan panglima tertinggi presiden. Kita so far percayakan itu suatu keputusan yang tepat tetapi jangan kemudian ini tidak mendengar, melihat, bahwa ini mempengaruhi juga psikologis dari prajurit sendiri, perwira sendiri, mereka-mereka itu kan pasti punya rasa juga," kata Effendi kepada wartawan, Sabtu (22/1).

"Apa iya hanya mereka-mereka saja yang punya kesempatan? Apa iya karena mereka yang dekat melayani presiden saja yang punya kesempatan? Apa kami kalau tidak kenal presiden tidak punya kesempatan. Itu harus juga dibangun untuk menampung aspirasi yang berkembang walaupun kita tahu Jendral Dudung itu kedekatannya belum lama. Tapi oleh karena hal yang oleh presiden dilihat memang dibutuhkan, maka beliau dipilih menjadi Pangkostrad kemudian diangkat sebagai KSAD," lanjutnya.

Effendi lalu berharap TNI bisa mengedepankan manajemen meritokrasi dalam memilih prajurit yang akan ditempatkan pada jabatan strategis ke depannya. Kebijakan manajemen meritokrasi itulah yang dapat mendorong jiwa korsa yang sehat tetap dapat terbangun di tubuh TNI

"Memang tidak semua (dekat dengan presiden) tapi lebih baik lah TNI harus menjadikan masukan untuk lebih mengedepankan menajemen yang berbasis meritokrasi. Siapapun dia sepanjang hasil rekamnya bagus ya go a head. Mereka adalah para prajurit pejuang yang punya kepastian, pengabdian dan loyalitas yang prima agar terbangun korsa itu yang sehat," ujarnya.

Effendi juga menyinggung jika yang ditunjuk mengisi jabatan strategis hanya orang tertentu saja, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kerusakan moral atau demoralisasi di TNI. Dia berharap hal tersebut bisa menjadi perhatian.

"Kalau orangnya itu-itu aja itu kan pasti terjadi demoralisasi. Nah ini kan akan mengganggu keberlangsungan TNI itu sendiri. Jadi itu juga harus jadi perhatian kita semua, perhatian presiden khususnya di TNI ya. Bagaimanapun kita tahu lah suara hati mereka-mereka yang satu angkatan apalagi yang lintas angkatan. Mereka harus harmoni, kita terbuka aja lah siapapun pasti ingin jenderal lah, siapa sih nggak ingin jenderal dan menjabat juga jabatan-jabatan strategis," imbuhnya. [detik.com]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan bawah postingan