Drama UMP DKI Makin Runyam, Buruh Terancam Gelombang PHK

Langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menempuh jalan berbeda soal kenaikan UMP tahun 2022 berbuntut panjang.

Setelah Anies Effect memicu reaksi buruh di berbagai daerah, kini isu gelombang PHK merebak. Pelaku usaha menyebut kisruh akibat kebijakan UMP DKI Jakarta bisa mengganggu sektor manufaktur.

Potensi terjadinya gelombang PHK akibat masalah penetapan upah minimum di Ibu Kota disampaikan Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Pandapotan Sinaga. Menurutnya, momen kenaikan UMP yang ditetapkan Gubernur DKI Anies Baswedan tidak tepat, dan bisa mengancam pelaku usaha yang kini sedang berusaha pulih setelah terpukul pandemi Covid-19.

"Momennya ini tidak pas karena yang dikatakan pihak pemerintah kenaikan ini untuk menaikkan kesejahteraan buruh," kata Pandapotan saat berdialog dengan CNBC Indonesia, Jumat (7/1/2022)

Menurut Pandapotan, saat ini sektor usaha masih dalam kondisi babak belur dan mau merangkak untuk bisa menaikkan kemampuan usahanya untuk membiayai para buruh.

"Kami takutkan kalau (UMP) naik ini para pengusaha tidak mampu membayar gajinya, akhirnya mereka tutup," kata dia.

Alih-alih menaikkan UMP dengan jumlah berbeda seperti yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, menurut dia, Pemprov DKI Jakarta seharusnya mengatur kompensasi kerja yang bisa diberikan pelaku usaha kepada pekerjanya jika mendapat untung.

Baca: UMP DKI Jakarta Cekik Industri Manufaktur?
Dia mencontohkan, pemerintah bisa mengeluarkan aturan agar pelaku usaha memberikan bonus atau kompensasi untuk pekerja dalam rentang 2 - 3 bulan sekali jika mendapat keuntungan.

"Ini bisa menciptakan kegaduhan antara buruh dan pengusaha. Kalau keputusannya sudah koordinasi dengan pengusaha, pasti pengusaha manufaktur sudah sosialisasi dengan asosiasi (pekerja) dan ada dasar perhitungannya. Kami saat pertemuan dengan Disnaker menanyakan dasar kenaikan UMP dari awalnya 0,85% menjadi 5,1% itu apa?" katanya

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Diana Dewi berkata, kebijakan Pemprov DKI Jakarta menaikkan UMP di luar ketentuan PP 36/2021 bisa berdampak besar bagi pelaku UMKM di ibu kota. Dia khawatir penetapan UMP sebesar 5,1% akan membuat UMKM berpikir untuk menunda pembukaan usahanya kembali, atau mengurangi jumlah karyawan yang akan dipekerjakan.

"Justru sekarang ini dengan Pergub direvisi berarti tidak akan memberi semangat besar untuk UMKM karena saat pandemi mereka terkena dampak dan banyak merumahkan karyawannya. Artinya, kemarin yang pekerja banyak dirumahkan sehingga UMKM akan menghitung ulang. Ini sudah kami sampaikan berkali-kali," kata Diana.

Dia berkata, saat ini ada banyak pelaku usaha yang mempertanyakan apakah kebijakan Pemprov DKI Jakarta menaikan UMP berbeda dengan PP 36/2021 politis atau tidak. Akan tetapi, Diana memastikan pelaku usaha akan tetap kondisi iklim usaha di DKI Jakarta tetap kondusif dan tidak akan melakukan aksi-aksi frontal menanggapi masalah UMP ini.

"Saya berpikir bahwa yang punya kewenangan bicara ini adalah kementerian terkait. Makanya Kadin mengambil sikap kami tak akan melakukan kegiatan yang merugikan kami, dan kami akan buat iklim usaha kondusif. Kalau dianggap Pergub atau peraturan tersebut salah tentunya ada yang memiliki kewenangan untuk menyatakan keputusan itu salah," ujarnya.

Polemik UMP di DKI Jakarta dimulai setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi UMP DKI Jakarta tahun 2022 yang semula naik 0,85% menjadi 5,1% atau setara Rp 225.667.

Revisi tersebut mendatangkan polemik, kalangan pengusaha tak terima dan menuduh Anies melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.[cnbcindonesia.com]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan bawah postingan