Bharada E Bisa Tolak Perintah Irjen Sambo Tembak Brigadir J, Ini Aturannya
Rabu, 10 Agustus 2022
Bharada Richard Eliezer atau Bharada E mengaku diperintah atasan untuk menembak Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Sebenarnya, Bharada E bisa menolak perintah atasannya.
Dugaan perintah dari Irjen Ferdy Sambo ke Bharada E untuk menembak Brigadir J itu disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022). Dia mengungkap peran Irjen Ferdy Sambo yang telah ditetapkan sebagai tersangka bersama Bharada Eliezer, Bripka Ricky dan Kuat di kasus dugaan pembunuhan J.
"Tim khusus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap Saudara J yang menyebabkan Saudara J meninggal dunia yang dilakukan oleh Saudara RE atas perintah Saudara FS," kata Sigit.
Setelah Bharada E menembak Brigadir J, Irjen Ferdy Sambo lantas mengambil pistol Brigadir J. Menggunakan pistol Brigadir J, Sambo diduga menembak dinding ruangan tempat kejadian perkara (TKP) supaya terkesan Brigadir J melepaskan tembakan.
"Saudara FS melakukan penembakan dengan senjata milik Saudara J ke dinding berkali-kali untuk membuat kesan seolah telah terjadi tembak-menembak," kata Sigit.
Aturan soal Bawahan Bisa Tolak Perintah Atasan
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan sebenarnya ada aturan yang mengizinkan bawahan menolak perintah atasan. Namun, katanya, aturan itu sulit untuk dilaksanakan jika perintah datang dari atasan yang pangkatnya berbeda sangat jauh dengan bawahan yang diperintah.
"Aturan-aturan tersebut ada. Tetapi memang dalam praktiknya, dapat dipahami jika seseorang dengan pangkat paling rendah di Kepolisian, bagaikan bumi dan langit dengan atasannya yang seorang jenderal, pasti sulit melawan. Oleh karena itu jika E bersedia menjadi justice collaborator karena yang bersangkutan saksi kunci, maka yang bersangkutan perlu dilindungi dan dijamin keselamatannya agar dapat bersaksi yang sebenar-benarnya di pengadilan untuk mengungkap kasus ini," kata Poengky.
Dia juga menjelaskan soal aturan anggota Polri tak selamanya harus melakukan tindakan yang diperintah atasan. Salah satunya ada di pasal 18 UU nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Berikut isinya:
Pasal 18
(1) Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia.
Aturan lebih tegas soal bawahan boleh menolak perintah atasan terdapat di Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) nomor 7 tahun 2022 tentang Kode Etik dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diunduh dari situs peraturan.go.id Kemenkumham. Aturan bawahan bisa menolak perintah atasan tertera di dalam pasal 6 ayat (2). Berikut isinya:
Pasal 6
(2) Setiap Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib:
a. melaksanakan perintah Atasan terkait dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya dan melaporkan kepada Atasan.
b. menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan; dan
c. melaporkan kepada Atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari Atasan pemberi perintah.
Perpol itu juga berisi larangan bagi atasan untuk memberi perintah yang melanggar hukum. Berikut aturannya:
Pasal 11:
(1) Setiap Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai Atasan dilarang:
a. memberi perintah yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan;
b. menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggung jawab; dan
c. menghalangi dan/atau menghambat proses penegakan hukum terhadap bawahannya yang dilaksanakan oleh fungsi penegakan hukum. [detik.com]