KPK soal Desakan Jemput Paksa Lukas Enembe: Bukan Hal Sulit tapi Ada Risiko

KPK merespons terkait desakan agar menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe. KPK menilai hal tersebut bukan perkara sulit dilakukan, tapi KPK juga telah memperhitungkan risiko dari tindakan tersebut.

"Tentu bukan persoalan sulit untuk mengambil paksa dengan mengerahkan segala kekuatan. Tetapi itu tadi, ada risiko yang tentu harus kami hitung di sana. Jangan sampai penindakan KPK sampai menimbulkan ekses yang tidak kita inginkan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan, Senin (3/10/2022).

"Kami juga harus melakukan kalkulasi risiko yang mungkin timbul kalau misalnya ada pemanggilan secara paksa," imbuhnya.

Dia mengkhawatirkan ada kerusuhan jika upaya jemput paksa tersebut dilakukan oleh KPK. "Efek sesudahnya yang kita harus perhatikan supaya jangan sampai ada kerusuhan yang sifatnya 'masalah'. Kami nggak menginginkan itu," ucap Alex.

Dalam kesempatan sama, Deputi Bidang Penindakan KPK Karyoto menjelaskan penanganan perkara Lukas Enembe harus dilakukan dengan cara-cara yang khusus. Namun, dia memastikan penyidikan bakal terus berjalan.

"Kami tidak akan berhenti di sini, pada waktunya tertentu nanti kita akan tetap melanjutkan penyidikan yang sudah dilaksanakan," ujar Karyoto.

Karyoto menyebut KPK tetap menjunjung tinggi asas equality before the law. KPK, kata dia, telah berkoordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) untuk menangani kasus Lukas Enembe.

"Karena apa pun ceritanya, equity before the law adalah sama, dan ini yang sedang diupayakan oleh Forkopimda yang kemarin melakukan koordinasi dengan kami," imbuhnya.

Diberitakan, Gubernur Papua Lukas Enembe belum juga memenuhi panggilan KPK terkait statusnya sebagai tersangka dengan alasan sakit. Sejumlah aktivis antikorupsi mendesak KPK agar segera melakukan jemput paksa Enembe.

Desakan ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai proses hukum terhadap Lukas Enembe yang dilakukan KPK terlalu berlarut-larut. ICW meminta KPK bertindak cepat.

"ICW beranggapan proses hukum terhadap Saudara Lukas Enembe ini sudah terlalu berlarut-larut. Untuk itu, guna mempercepat penyidikannya, ICW mendorong agar KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa terhadap Gubernur Papua itu. Bahkan, jika dibutuhkan, bukan hanya penjemputan paksa, melainkan penangkapan lalu dilanjutkan penahanan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (27/9).

ICW menyarankan KPK berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memeriksa kesehatan Lukas Enembe. Hal ini, katanya, penting dilakukan untuk memastikan Lukas Enembe benar-benar harus mendapat perawatan atau tidak.

"Jika benar kondisi Lukas memang sedang sakit, KPK dapat melakukan pembantaran terhadap yang bersangkutan. Namun, jika kondisinya sehat dan terbukti tidak sakit, KPK harus menjerat pihak-pihak yang memanipulasi kondisi kesehatan Lukas dengan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice," tutur dia.

Desakan MAKI

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta KPK menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe karena dua kali tak menghadiri panggilan pemeriksaan dengan alasan sakit. MAKI menilai KPK harus berani menjemput Lukas Enembe.

"Harus jemput paksa dan dilakukan penahanan karena KUHAP atur cara itu, kalau nanti benar-benar sakit maka cukup dibantarkan di rumah sakit," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Selasa (27/9).

Boyamin mengatakan penegakan hukum harus berlaku sama kepada setiap orang. Boyamin menyinggung KPK yang pernah melakukan upaya penjemputan paksa kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.

"Hukum harus berlaku semua seperti KPK memperlakukan Setya Novanto," tutur dia.

Desakan Pukat UGM

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman meminta KPK tegas dalam menangani perkara Gubernur Papua Lukas Enembe. Zaenur meminta KPK menjemput paksa Enembe jika tak memenuhi panggilan.

"Yang pertama, KPK harus tegas dalam penanganan perkara ini. Bahwa seorang tersangka sesuai yang diatur dalam KUHAP itu jika telah dipanggil dengan layak harus menghadiri panggilan dari penyidik," kata Zaenur kepada wartawan, Sabtu (1/10).

"Tentu setelah dipanggil secara layak tidak hadir, kembali tidak hadir, maka bisa dilakukan upaya paksa. Bisa dilakukan upaya paksa," tambahnya.

Selain itu, Zaenur menyarankan KPK untuk menggunakan pendekatan sosial dengan menggandeng tokoh setempat. KPK, katanya, harus memberi paham para pembela Enembe bahwa ini adalah murni proses hukum.

"Terus yang selanjutnya, KPK bisa menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan, menjelaskan kepada masyarakat misalnya dengan menggandeng tokoh masyarakat menjelaskan bahwa ini proses hukum yang tidak terkait dengan politik atau hal-hal lain, ini adalah murni proses hukum," ujarnya. [detik.com]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan bawah postingan